Ruang Mistis – Gunung Rinjani di Pulau Lombok dikenal dengan kecantikannya yang memukau—tapi di balik pesonanya, gunung ini menyimpan sudut kelam yang mematikan banyak pengunjung. Keberanian mengambil rute menantang ternyata dibayar mahal. Kepergian Juliana de Souza Pereira Marins (26), pendaki asal Brasil, tidak hanya menyisakan duka mendalam; keberadaannya yang menghilang selama empat hari dalam kabut dan jurang menjadi kisah yang meremangkan bulu kuduk.
Siapa yang tak terenyuh ketika menyaksikan seorang petualang meninggal saat mengejar impian? Juliana bukan pengunjung baru di dunia pendakian. Asalnya dari Niterói, Rio de Janeiro, ia telah menjelajahi pegunungan di Thailand, Vietnam, dan Filipina. Gunung Rinjani menjadi tujuannya terakhir—menjadi puncak yang harus ia taklukkan sebelum merantau kembali.
Karakter yang tangguh dan mandiri, Juliana tiba di pos Sembalun pada tanggal 21 Juni. Namun, sejak saat itu, kisah yang mengerikan mulai menyelimuti jejaknya: kabut tebal yang tiba-tiba muncul, tangga tanah yang mudah luruh, dan suara bisikan di antara deru angin.
“baca juga: Israel Bersiap Serang, Menhan Perintah IDF Rencana Aksi ke Iran“
Pada pagi itu, kabut mulai turun seperti tirai tipis yang menutupi pandangan. Teriknya sinar matahari yang menyengat berubah dalam hitungan menit menjadi selimut dingin dan beku. Tanah vulkanik yang licin bagaikan perangkap. Dan Juliana? Ia diminta istirahat di pos Cemara Nunggal, tidak jauh dari rimbun pohon cemara—pohon keramat para pendaki, katanya.
Namun setelah tiga menit, pemandu, Ali Musthofa, memutuskan tetap melanjutkan dengan rombongan. Mereka tidak pernah menyangka bahwa waktu itu menjadi penanda kegelapan. Saat rombongan kembali, Juliana menghilang. Yang tersisa hanyalah lampu senter yang berderak-derak pelan menatap jurang yang kosong.
Saksi yang berada di puncak mengaku mendengar “jeritan perempuan” sekitar 30 menit sebelum Hilangnya Juliana. Suara itu datang dari kegelapan, penuh tekanan panic, namun lenyap secepat ia muncul. Entah bagaimana kabut membuat jeritan itu makin hampa dan sunyi. Jeritan yang seolah bukan milik dunia ini.
Secara horor, cerita ini terdengar seperti adegan film horor: seorang wanita hilang dari pandangan mata, kabut menjadi saksi, sementara jeritan teredam di tubuh hutan. Tentu hal ini membuat siapapun bergidik membayangkan posisi Juliana—tercekik antara kepanikan dan angin dingin.
Pencarian berlangsung selama empat hari. Drone ditembakkan untuk menembus kabut dan melihat antara reruntuhan dan jalur jerami. Pada hari kedua, drone menemukan sesosok manusia yang duduk pasrah di lereng curam—itu Juliana. Tim SAR memberi respons cepat, berharap bisa menolongnya.
Namun, cuaca tiba-tiba memburuk. Kabut makin tebal, hujan turun deras, dan perangkat medis serta lapangan terbatas. Jarak yang harus dilalui tim SAR sampai pada kedalaman sekitar 600 meter menjanjikan perjuangan berat dan bahaya longsor. Saat mereka mencapai area itu, tubuh Juliana telah tenggelam lebih jauh ke jurang. Jejak ransel dan lampu senter tak mampu lagi dijadikan penanda lokasi yang jelas.
Laporan medis menyatakan bahwa Juliana mengalami trauma fatal, dengan patah tulang dan cedera internal parah. Diduga ia terjatuh, menghantam batu, longsor kembali ke jurang, dan mengalami benturan di beberapa titik. Korban tidak terkena hipotermia—melainkan meninggal akibat luka berat.
Meski sajak mistis bergema, bukti medis berbicara jelas: ini adalah kecelakaan tragis, bukan serangan alien atau mahluk gaib. Namun, kabut tebal, jeritan yang terdengar, dan kisah lenyapnya perjalanan mendaki menumbuhkan spekulasi mistis yang tak mudah hilang.
Gunung Rinjani memegang cerita mistis yang berlapis. Ratusan pendaki sebelumnya pernah bercerita mengenai:
Cerita-cerita ini memperkaya legenda bahwa Rinjani bukan sekadar gunung, tapi “gerbang yang menyimpan entitas milik para leluhur”—bagi yang percaya, mereka datang dan pergi tanpa hitungan waktu dunia modern. Dalam kisah Juliana, ada jalinan mistis yang menambah nuansa tak bernama di lorong kabut.
Tidak dapat dimungkiri bahwa masalah teknis juga ikut memperburuk situasi:
Keluarga Juliana di Brasil kecewa. Mereka menuntut penanganan lebih cepat dan profesional. Bahkan kabarnya, pihak keluarga berniat meminta autopsi ulang guna mengetahui detil luka jauh lebih dalam. Mereka menginginkan kejelasan, bukan hanya teori mistis.
Kita menghadapi dua realita yang bertabrakan:
Meskipun bukti menyatakan ini semata kecelakaan, dimensi mistis tetap berjalan beriringan. Kebetulan? Atau memang Rinjani punya semacam “penghuni spiritual” yang cemburu? Bagi mereka yang percaya, kejadian ini bukan hanya soal statistik jalur pendakian yang berbahaya; ini soal dinding antara alam nyata dan mistis yang rapuh.
Juliana Marins pergi dalam keadaan tragis, dihantam oleh kombinasi faktor alam, teknis, dan ketidakpastian. Namun kabut kabut yang lebat, jeritan yang hanya terdengar sesaat, dan aura mistis di jalur sunyi membawa kita pada pertanyaan besar: apakah Rinjani hanya selaput awan dingin, atau ia menyimpan entitas yang tidak casual?
Satu hal pasti—namanya akan tercatat sebagai tragedi alam, namun kisahnya akan terus hidup dalam lore gunung. Bagi sebagian orang, ini hanya peringatan: alam sangat berbahaya dan tidak bisa diremehkan. Bagi yang lain, ini pengingat bahwa di balik kabut, kita tidak sendiri—bahkan arwah bisa ikut menimbun jejak.