Ruang Mistis – Teke‑Teke adalah salah satu urban legend Jepang paling terkenal. Menurut cerita, seorang gadis jatuh dari rel kereta dan tubuhnya terbelah dua. Kini rohnya berjalan dengan tangan atau siku sambil menyeret bagian tubuh atas, menimbulkan suara “teke‑teke.” Versi populer menyebut namanya sebagai Kashima Reiko.
Hantu ini digambarkan tanpa kaki dan mengejar korban yang ditemuinya di malam hari. Legenda menyebut, ia memotong korban di pinggang jika mereka tak bisa menjawab pertanyaannya: “Di mana kakiku?” Dalam beberapa versi, korban yang salah jawab akan menjadi Teke‑Teke juga.
“Baca Juga : Zelensky Minta Momentum Gencatan Senjata Gaza Jadi Titik Awal Perdamaian di Ukraina”
Legenda ini telah muncul dalam film horor Teketeke (2009), komik, dan cerita urban di internet. Adaptasi modern mempertahankan unsur ketegangan dan rasa takut terhadap sosok yang tak utuh.
Teke‑Teke bisa diartikan sebagai simbol penderitaan yang belum selesai dan trauma yang terus “bergerak.” Kisahnya menyorot kekerasan, pengabaian, atau bullying yang bisa membawa dampak jangka panjang.
Fenomena “wisata gelap” yang mengunjungi Aokigahara atau tempat legenda serupa seperti Teke‑Teke bisa memicu kontroversi etika. Sebagai pembaca, kita harus mengedepankan empati dan hormat terhadap kisah yang dilatarbelakangi penderitaan manusia.
Lebih dari sekadar cerita horror, Teke‑Teke mengajak kita melihat bagaimana mitos lahir dari pengalaman manusia. Ia menjadi pengingat bahwa kisah trauma, ingatan kelam, dan penderitaan butuh diresapi dengan bijak—not just untuk ditakuti.