Ruang Mistis – Aokigahara, yang terletak di lereng barat laut Gunung Fuji, tumbuh di atas lahar vulkanik dari letusan besar pada tahun 864 M. Hutan ini membentang sekitar 30 km², dan tanah lava yang poros menyerap suara, menciptakan keheningan yang sangat dalam. Di beberapa bagian, kompas bahkan bisa terganggu karena kandungan mineral di tanahnya. Saya percaya, keheningan inilah yang membuat atmosfer Aokigahara terasa tak biasa menimbulkan rasa kagum sekaligus kekhawatiran.
Sejak lama hutan ini dihubungkan dengan mitos yūrei atau roh penasaran dalam kepercayaan Jepang. Cerita ini diperkuat oleh legenda kuno seperti ubasute praktik meninggalkan orang tua di alam liar di masa kelaparan. Pada tahun 1960, novel Kuroi Jukai ikut membentuk citra hutan ini sebagai tempat bunuh diri romantik dan tragis. Namun menurut saya, mitos tersebut tidak bisa dilepaskan dari kondisi sosial dan kesehatan mental yang kompleks di masyarakat saat ini.
“Baca Juga : Bentrok Mematikan di Perbatasan: Pakistan vs Taliban 2025”
Selama dekade terakhir, Aokigahara mencatat banyak kasus bunuh diri. Menurut penelitian medis, hutan ini dikenal sebagai salah satu tempat paling sering digunakan untuk aksi bunuh diri, dengan sekitar 30 kasus per tahun sejak tahun 1980-an. Pemerintah Jepang kini sengaja menghentikan publikasi angka resmi agar tidak memicu efek tiruan (copycat). Di beberapa jalur masuk, dipasang papan peringatan dalam bahasa Jepang dan Inggris yang menyuarakan harapan hidup serta menyediakan nomor layanan bantuan psikologis. Bagi saya, upaya ini penting sebagai langkah preventif meski tantangannya tetap besar karena akar penyebabnya sering berada jauh di luar batas hutan.
“Baca Juga : Zelensky Minta Momentum Gencatan Senjata Gaza Jadi Titik Awal Perdamaian di Ukraina”
Fenomena “wisata gelap” muncul ketika orang datang ke Aokigahara bukan untuk menikmati alam, melainkan merasakan sensasi horor atau mendokumentasikan tragedi. Salah satu kasus terkenal adalah ketika YouTuber Logan Paul merekam mayat korban bunuh diri dan menuai kecaman internasional. Menurut saya, tindakan seperti itu memperparah penderitaan tak hanya bagi keluarga korban, tetapi juga bagi orang yang ikut menyaksikannya. Wisata semacam itu memunculkan dilema etika: apakah dokumentasi tragedi bisa dibenarkan sebagai upaya kesadaran?