Ruang Mistis – Pernahkah kamu memperhatikan bahwa beberapa hotel besar tidak memiliki fenomena lantai 13 dalam daftar lift mereka? Fenomena ini bukan kesalahan teknis ataupun strategi desain belaka. Justru, hilangnya lantai 13 di berbagai hotel adalah hasil dari kepercayaan dan ketakutan yang tertanam dalam budaya masyarakat. Triskaidekaphobia, atau fobia terhadap angka 13, menjadi alasan utama di balik praktik unik ini. Meskipun terdengar kuno, banyak hotel memilih untuk melewatkan angka tersebut demi kenyamanan tamu. Tapi mengapa angka 13 begitu ditakuti dan sejak kapan praktik ini muncul dalam dunia perhotelan modern?
Kepercayaan terhadap fenomena lantai 13 angka sial ini sebenarnya berakar dari berbagai budaya dan sejarah. Dalam mitologi Nordik, makan malam terakhir yang dihadiri oleh 13 dewa berakhir dengan tragedi. Di dunia Barat, angka 13 sering dikaitkan dengan pengkhianatan, malapetaka, dan kematian. Dalam Kekristenan, Yudas—yang mengkhianati Yesus—disebut hadir sebagai tamu ke-13 dalam perjamuan terakhir. Ketakutan ini kemudian menjalar ke dunia arsitektur. Banyak gedung pencakar langit di Amerika Serikat menghindari angka 13, bukan hanya di hotel, tapi juga di rumah sakit dan gedung perkantoran. Hal ini menunjukkan bahwa fobia tersebut telah meresap dalam praktik kehidupan modern.
Mayoritas hotel di Amerika dan beberapa negara Asia memilih melewati lantai 13 dalam penomoran mereka. Biasanya, setelah lantai 12 langsung muncul angka 14. Padahal, secara struktural, lantai tersebut tetap ada. Namun, untuk menjaga persepsi dan kenyamanan tamu, angka 13 dihindari. Beberapa hotel bahkan menyamarkan lantai itu sebagai “12A” atau menjadikannya area layanan internal. Praktik ini bukan hanya bentuk adaptasi terhadap kepercayaan, tapi juga strategi pemasaran. Tamu yang percaya pada hal-hal supranatural mungkin merasa lebih aman menginap di hotel yang menghindari angka sial ini. Itu artinya, hilangnya lantai 13 adalah keputusan bisnis yang terencana.
Penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar tamu hotel tidak terlalu memperhatikan detail penomoran lantai. Namun, segmen tertentu tetap memperhatikan angka-angka tersebut secara serius. Tamu dari latar belakang budaya tertentu bahkan meminta kamar di lantai tertentu untuk keberuntungan. Di Asia misalnya, angka 4 juga kerap dihindari karena terdengar mirip dengan kata “kematian” dalam bahasa Mandarin. Fenomena serupa juga terjadi dalam angka apartemen dan nomor kursi pesawat. Hotel yang memahami psikologi tamu bisa menciptakan lingkungan lebih nyaman. Jadi, penyesuaian angka lantai bukan semata soal estetika, tetapi juga tentang memahami pasar dan keyakinan pelanggan.
“Simak juga: Angga Yunanda Sudah Rencanakan Pernikahan Sejak 2020, Ini Alasannya”
Meski fenomena lantai 13 banyak ditemukan di Amerika dan Eropa, pengaruhnya mulai merambah ke wilayah lain. Globalisasi membuat praktik ini menjadi standar tak tertulis di berbagai jaringan hotel internasional. Ketika hotel besar membangun cabang di negara dengan budaya berbeda, mereka tetap mempertimbangkan praktik ini. Bahkan hotel-hotel modern di Timur Tengah atau Asia Tenggara ikut menghindari angka 13. Hal ini membuktikan bahwa budaya barat bisa memiliki dampak signifikan pada arsitektur dan pelayanan global. Dengan menyerap dan menyesuaikan kepercayaan ini, hotel bisa menjangkau pasar lebih luas tanpa menimbulkan ketidaknyamanan.
Meski tren menghindari lantai 13 masih kuat, beberapa arsitek mulai menantang konvensi ini. Mereka percaya bahwa arsitektur modern seharusnya melampaui mitos dan takhayul. Beberapa hotel baru di kota besar seperti Tokyo dan Berlin mulai menggunakan lantai 13 tanpa modifikasi. Mereka bahkan menjadikannya daya tarik tersendiri. Ada hotel yang menawarkan paket “berani menginap di lantai 13” sebagai bagian dari kampanye promosi. Respons tamu ternyata cukup beragam, dari rasa penasaran hingga kegembiraan. Hal ini menunjukkan bahwa perubahan perspektif terhadap angka 13 sedang berlangsung, meskipun masih dalam tahap awal dan terbatas pada wilayah tertentu.